1 Tahun Sudah Belajar Membuat dan Mengedit Video

Tahun 2022 lalu, saya mencoba tantangan baru yaitu membuat video dan mengeditnya. Sejak kemunculan Tiktok, instagram juga mengubah alogaritmanya dengan menaikan reach impression untuk instagram reels.

Maka mau tidak mau, pekerjaan social media maupun digital marketing juga dituntut untuk minimal bisa membuat video reels atau tiktok.

Ya, inilah yang namanya perubahan zaman. Kita dituntut untuk mau tidak mau mengikutinya. 

Secara pribadi saya senang dan penikmat fotografi dan juga memotret dari pada video. Namun saya bukan menghindari video, akan terapi tidak bisa mengeditnya. 

Sebanarnya saya bukan tidak bisa, tapi malas untuk mencoba. Karena merasa ribet duluan, merasa video lebih teknis dan rumit editingnya selama ini.

Namun pikiran itu berubah, ketika saya menemukan beberapa software editing video secara mobile yang lebih simple dan mudah untuk digunakan.

Bahkan instagram sendiri menyediakan editing untuk reels beserta template, lagu dan filternya yang membuat saya juga ketagihan dengan reels dan mengeksplor menggunakannya.

Setelah saya coba, sekali dua kali. Ternyata membuat video itu cukup mengasyikan. Bahkan saya merasa kegiatan menulis saya menjadi lebih berkurang. 

Saya berpikir apakah kedepannya social media akan menjadi video dan media konvensional seperti media cetak, media online berjenis tulisan dan foto, blogger di Indonesia akan tergerus oleh konten-konten video? Mengingat orang Indonesia juga memiliki minat baca yang kurang dan lebih senang menghabiskan waktunya untuk menonton?

Lihat saja sebuah video baik di Youtube atau Socmed bisa tembus views jutaan, sedangkan sebuah artikel dibaca ribuan hingga ratusan ribu saja sudah syukur.

Belum lagi beberapa media, seperti Kompas.com misalnya, sudah merambah konten video pendek untuk tetap eksis dan tidak ditinggalkan oleh para pembacanya dan untuk menggaet target pembaca yang lebih luas.

Memang sih awalnya saya agak gimana gitu dengan perubahan yang terjadi akibat Tiktok. Belum lagi kegiatan belanja sekarang harus banget dengan live shopping. Para brand hingga perorangan live berjam-jam hingga larut malam. Bahkan banyak brand yang juga FOMO untuk live dari pagi-pagi buta atau pada jam menjelang istirahat bahkan larut malam demi jualan mereka laris manis.

Ya, memang tidak salah sih dengan gaya live shopping yang dibawa dari negeri China tersebut. Akan tetapi ngerasa kasihan dengan para host yang harus live 6 jam. Dalam 6 jam tersebut hanya ngomongin itu-itu saja tanpa ada bobot atau topik diskusi tertentu. Ibaratnya seminar atau ikut kelas online 2 jam saja udah lumayan, gimana cuap-cuap live shopping 6 jam? 

Belum lagi, sekarang ada banyak 'pengemis online' yang mandi lumpur atau mandi di bak dan mengguyur kepalanya pada jam tengah malam hanya demi saweran gift. Harusnya live streaming seperti itu, harus di  di awasi oleh Tiktok untuk di take down.

Ya itulah perubahan digital, mau tidak mau kita harus mengikutinya agar tidak ketinggalan. Saya berharap dengan mudahnya akses internet, akses akan artikel, buku, jurnal makin tinggi tingkat literasi baca masyarakat Indonesia semakin meningkat.


Comments

  1. Utk video aku juga masih belum serius nih belajarnya mas. Krn memang lebih ribet kalo belum biasa kan. Untungnya anakku yg pertama jago edit. Jadi aku bisa belajar Ama dia. Cuma ya itu, mood belajarnya suka angin2an 🤣🤣

    Setuju sih kalo fenomena pengemis online di TikTok mending takedown ajalah. Ngeliatnya kok kayak ga ada harga diri yaaa. Tetep aja itu ngemis, padahal badan sehat. Beda cerita kalo yg jualan
    Walo jadi kasian sih, cuap2 lama kadang yg beli juga ga banyak

    ReplyDelete

Post a Comment